- May 30, 2023
- News
Pengelolaan Ekosistem Karbon Biru Diintegrasikan dengan Kebijakan Perubahan Iklim
Foto udara hutan mangrove Jembatan Cinta di Kampung Paljaya, Desa Segara Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023). Mangrove dianggap sebagai karbon biru karena memiliki potensi dalam penyerapan jumlah karbon yang lebih tinggi secara alami.
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem karbon biru berupa mangrove dan padang lamun memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan. Melalui kerja sama dengan Badan Pembangunan Perancis, pengelolaan ekosistem karbon biru akan diintegrasikan dengan kebijakan perubahan iklim nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam acara bertajuk ”Integrasi Karbon Biru dalam Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia” di Jakarta, Senin (29/5/2023). Acara ini sekaligus menjadi peresmian dan sosialisasi terkait dengan pelaksanaan proyek karbon biru antara Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia(ICCTF) bersama Badan Pembangunan Perancis (AFD)
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti mengemukakan, pembangunan rendah karbon telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal ini merupakan sebuah program prioritas untuk meningkatkan kualitas lingkungan, ketahanan bencana, dan perubahan iklim.
Pengukuran emisi untuk ekosistem karbon biru, khususnya mangrove, di Indonesia terlebih dahulu harus mengetahui karakteristik di berbagai wilayah.
Salah satu upaya dalam pembangunan rendah karbon ialah mengoptimalisasi potensi ekosistem karbon biru berupa mangrove dan padang lamun. Upaya ini dilakukan dengan langkah strategis untuk peningkatan kualitas dan kelestarian dari ekosistem tersebut.
Menurut Sri, kunci optimalisasi potensi karbon biru dalam mitigasi perubahan iklim dilakukan melalui perdagangan karbon internasional dan kontribusi dalam penurunan emisi sesuai dengan dokumen kontribusi nasional (NDC). Akan tetapi, hal ini tetap membutuhkan sejumlah dukungan, mulai dari aspek kebijakan, sumber daya, hingga koordinasi.
”Kita memerlukan identifikasi kebutuhan kebijakan ekosistem karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim dan instrumen teknis pendukung lainnya. Oleh karena itu, kita juga memerlukan integrasi pengelolaan ekosistem karbon biru ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia,” ujarnya.
Kebutuhan terkait integrasi pengelolaan ekosistem baru diwujudkan melalui kerja sama antara Bappenas dan ICCTF dengan AFD yang mengalokasikan pendanaan sebesar 620.000 euro atau sekitar Rp 9,9 miliar. Kerja sama dengan durasi proyek tiga tahun ini akan berfokus mengelola ekosistem karbon biru di tiga lokasi, yakni Juru Seberang (Belitung), Likupang (Sulawesi Utara), dan Raja Ampat (Papua Barat).
Proyek kerja sama ini bertujuan mengintegrasikan karbon biru ke dalam kebijakan nasional dan sub-nasional melalui implementasi Kerangka Kerja Strategis Karbon Biru Indonesia. Tujuan lainnya ialah meningkatkan baseline, inventarisasi, dan kapasitas pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) pemangku kepentingan nasional dan daerah.
Kerja sama ini diharapkan dapat menciptakan kebijakan-kebijakan pendukung implementasi karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim dan kontribusi penurunan emisi. Kemudian diharapkan juga dapat menjawab tantangan pengelolaan ekosistem karbon biru meliputi degradasi kualitas ekosistem, keterbatasan data, serta ketiadaan standardisasi metode MRV.
”Terakhir, diharapkan akan terjadi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan untuk implementasi karbon biru dalam upaya penurunan emisi dan perdagangan karbon internasional,” ucap Sri.
Pengukuran emisi
Kepala Sub-Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Budiharto mengatakan, dalam pedoman Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), karbon biru kerap dikaitkan dengan ekosistem pesisir. Ekosistem ini meliputi mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun.
”Ekosistem karbon biru memiliki kandungan karbon yang tinggi. Dalam konteks melakukan pengukuran, nantinya akan tergantung dari metodologi yang diterapkan. Nantinya juga bisa dilihat aktivitasnya masuk antropogenik atau non-antropogenik,” ucapnya.
Menurut Budi, ketersediaan data, khususnya terkait kerusakan yang terjadi di padang lamun, merupakan salah satu aspek terpenting dalam mengukur emisi di ekosistem ini. Sementara untuk mangrove, pengukuran emisi di ekosistem ini telah dilaporkan pada inventarisasi gas rumah kaca dan program penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Direktur Eksekutif ICCTF, Tonny Wagey, mengatakan, upaya pengelolaan ekosistem karbon biru telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2017, sejumlah kementerian dan lembaga serta pihak terkait lainnya telah menginisiasi kerangka kerja strategis karbon biru. Saat itu, aspek kolaborasi dan MRV juga telah dibahas meski belum menemui titik terang.
Tonny menekankan bahwa pengukuran emisi untuk ekosistem karbon biru, khususnya mangrove di Indonesia, terlebih dahulu harus mengetahui karakteristik di sejumlah wilayah. Sebab, mangrove di setiap wilayah di Indonesia, seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, memiliki karakteristik yang berbeda-beda.