Paralel A SDGs Annual Conference: Ekosistem Laut

SIARAN PERS
Paralel A SDGs Annual Conference: Ekosistem Laut
JAKARTA – Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,3 juta km2 perairan Nusantara atau 62% dari luas teritorialnya) yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Potensi ekosistem pesisir dan laut Indonesia, terdiri dari mangrove dengan luas mencapai 3,3 Juta hektar atau 23% dari ekosistem mangrove dunia, terluas di Dunia; lamun dengan luasan 293.464 ha dan terumbu karang yang mencapai luas 25.000 km2 gugusan terumbu karang yang terbesar se-Asia Tenggara juga menjadi jantung segitiga terumbu karang, yaitu wilayah yang terbentang dari Indonesia, Malaysia hingga Kepulauan Solomon. Ketiga ekosistem ini saling berkaitan satu sama lain, memiliki peran yang penting secara ekologi, sosial budaya dan berkontibusi untuk pertumbuhan ekonomi.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Dr Ir Sri Yanti JS, MPM dalam pidato pembukanya menyampaikan bahwa pelaksanaan Sustainable Development Goals, khususnya SDGs 14, merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat untuk pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Komitmen tersebut dituangkan dalam indikator untuk mendukung SDG 14, dengan indikator pencapaian pada 14.4.1 Proporsi produksi perikanan tangkap yang lestari, serta 14.5.1 luasan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan. Indikator tersebut telah diinternalisasikan ke dalam dokumen perencanaan RPJMN 2020-2024. Salah satu program prioritas pengelolaan kelautan dan kemaritiman meningkatkan pengelolaan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Sri Yanti menyoroti pengelolaan WPP sebagai basis pembangunan kelautan dan perikanan merupakan upaya strategis dalam menjaga kelestarian sumber daya perikanan guna mengoptimalkan perekonomian. “Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia memiliki karakteristik, komoditas, kondisi ekosistem dan permasalahan berbeda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda untuk setiap WPP. Maka dari itu kedepan akan dibentuk kelembagaan mandiri yang mengatur dan mengelola setiap WPP guna Mewujudkan Revitalisasi Pengurusan dan Pengelolaan Perikanan. Disamping itu pula disampaikan bahwa akan ada penandatanganan Letter of Intent antara Bappenas dan PT SMI untuk mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan mengadopsi mekanisme blended finance” ujar beliau.
Dalam sesi pertama Breakout Session A: Ekosisitem Laut ini, hadir Agus Dermawan, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP yang membahas mengenai Kebijakan Pengelolaan Ruangan Laut Indonesia. “Laut adalah masa depan bangsa, ada 12 pulau terluar yang sedang kita bangun infrastrukturnya sehingga akan ada mekanisme industrialisasi di pulau-pulau kecil kita untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga ketahanan pangan. Indonesia memiliki persoalan sampah plastik, 80% sampah berasal dari darat dan 20% dari arus dan kegiatan lain di laut, sekitar 1,2 ton sampah masuk ke laut. Pada 18 Agustus lalu kita memiliki gerakan Menghadap Laut bertujuan untuk mengajak generasi muda agar peduli kepada masa depan laut Indonesia.”
Senada dengan hal tersebut Prof. Tridoyo Kusumastanto, MS , Guru besar Ekonomi Kelautan IPB menyampaikan bahwa Indonesia merupakan bagian dari konstelasi dunia dengan dua per tiga luasan wilayahnya adalah laut. “Kita memerlukan kerjasama kolaboratif berbasis ilmu pengetahuan untuk mengelola laut kita. Sustainable Development Goals saling terkait, pendekatan termudah misalnya dengan perpektif kesejahteraan dan pendampingan masyarakat maka harus ada peraturan dari unit wilayah yang paling kecil. Prof Tridoyo menyampaikan kontribusi sektor kelautan dan perikanan masih kecil yaitu 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan beliau menekankan bahwa laut adalah masa depan pembangunan bangsa. “Kita menantikan bagaimana komitmen Pemerintah Jokowi– KH Ma’ruf Amin yang akan dilantik dalam waktu dekat ini berkaitan dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan Indonesia, pungkas beliau.”
Pada sesi kedua, Tonny Wagey, Ph.D perwakilan Indonesia Climate change Trust Fund menjelaskan mengenai valuasi ekonomi dari Wilayah Segitiga Terumbu Karang yang saat ini mencapai angka 14 milyar US dollar dari sektor pariwisata, perikanan dan pemanfaatan infrastruktur pantai. Nilai tersebut memiliki potensi perkembangan mencapai 37 miliar US dollar di tahun 2030 apabila kondisi ekosistem terumbu karang terus terkelola dengan baik. “Melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) yang telah berjalan tiga fase hingga saat ini, kami Indonesia Climate Change Trust Fund ingin membagi pembelajaran ke berbagai pihak untuk melanjutkan konservasi laut,” jelas Tonny Wagey. Sejalan dengan tujuan konservasi laut, Taufiq Alimi selaku Vice President RARE Indonesia menyampaikan mengenai Inovasi Pendanaan dalam Pengembangan Sektor Kelautan dan Pesisir, “dari waktu ke waktu pendanaan untuk konservasi pesisir dan laut berkurang. Blended financing memberikan jaminan yang lebih jelas dan menawarkan interest dalam bentuk bunga yang lebih kecil untuk menjamin kegiatan pengembangan sektor kelautan dan perikanan dengan menginternalisasikan nilai penting dari konservasi ekosistem laut.