Nona-nona Penjaga ”Andoi”
Keberhasilan rehabilitasi Padang Lamun di Pulau Batanta, Raja Ampat, Papua Barat tidak terlepas dari peran anak-anak perempuan Kampung Yensawai. Dari semangat merekalah ekosistem laut dan pesisir bisa tetap lestari.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Lamun tumbuh subur di kawasan pantai Pulau Arborek, Distrik Meosmansar, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (29/5/2021). Arborek merupakan salah satu destinasi wisata utama di wilayah Raja Ampat. Keindahan pulau, kondisi alam yang masih asri, serta keragaman biota laut Pulau Arborek menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Panas terik tak menyurutkan Enjelina Saleo (13) untuk berangkat menuju pesisir pantai di tanjung yang berada di ujung Kampung Yensawai, Distrik Batanta Utara, Pulau Batanta, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Ia tidak sendiri. Ada 20 anak perempuan lain yang turut bersamanya.
Hampir setiap hari, sepulang sekolah, segerombolan anak perempuan itu berada di tanjung. Mereka bukan ingin bermain-main. Mereka sedang memantau tanaman lamun yang mulai mereka tanam pada Juni 2021 lalu.
”Setiap dua minggu biasanya kami ukur lamun yang kami tanam dengan mistar. Kami juga catat pertumbuhannya,” kata Enjelina.
Tidak hanya mencatat, terkadang kelompok ini juga memindahkan bibit lamun, menanam bibit baru, atau sekadar membersihkan lamun dari pasir dan kotoran lain. Waktu siang hari mereka pilih karena air sedang surut sehingga memudahkan mereka untuk mendekat ke area lamun. Jika air pasang, mereka terpaksa harus menyelam.
Lamun atau dalam bahasa setempat disebut andoi sebelumnya kurang diperhatikan oleh masyarakat Kampung Yensawai. Tanaman laut yang biasa hidup di pesisir laut tersebut hanya dibiarkan tumbuh begitu saja. Ketika luasan padang lamun berkurang, masyarakat pun tidak terlalu peduli.
DEONISIA ARLINTA
Sebagian anggota dari Kelompok Andoi berfoto setelah memantau tanaman lamun di Kampung Yensawai, Distrik Batanta Utara, Pulau Batanta, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (25/3/2022).
Itu terjadi karena pengetahuan masyarakat mengenai lamun amat terbatas. Mereka hanya tahu lamun merupakan makanan untuk dugong. Akibatnya, berbagai gangguan yang datang tidak diindahkan. Biasanya, ekosistem lamun dapat terganggu oleh lalu lintas kapal, masukan nutrien dari permukaan, perubahan iklim, serta aktivitas sosial masyarakat.
Tenaga ahli lamun dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, Robba Fahrizy Darus, menyampaikan, tidak kalah dengan karang dan mangrove, lamun memiliki peranan penting pada ekosistem laut. Sayangnya, lamun sering diabaikan. Lamun tidak hanya bermanfaat sebagai sumber pangan bagi dugong dan penyu, tetapi juga hiu kalabia yang merupakan hewan endemik di kawasan tersebut.
Selain itu, lamun juga menjadi tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan dan biota laut lain. Lamun juga berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, penahan ombak, penangkap mikroplastik, serta penambat sedimen.
”Lamun ini juga memiliki fungsi ekologi sebagai penyerap karbon terbesar, bahkan tingkat penyerapannya di atas mangrove. Jika tidak dijaga, dampaknya cukup besar. Habitat ikan yang tinggal di lamun pun akan rusak. Jumlah ikan akan berkurang, termasuk spesies endemik seperti hiu kalabia,” tutur Robba.
Kesadaran masyarakat mulai muncul setelah adanya pembinaan dari PKSPL IPB University yang dijalankan melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang-Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coremap-CTI). Program tersebut diinisiasi oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Pendekatan kepada masyarakat mulai dilakukan sejak pertengahan 2020. Secara perlahan kesadaran dan kecakapan masyarakat untuk menjaga ekosistem padang lamun mulai meningkat. Masyarakat sudah dilibatkan sejak awal dalam kegiatan rehabilitasi padang lamun di Kampung Yensawai.
Lamun ini juga memiliki fungsi ekologi sebagai penyerap karbon terbesar, bahkan tingkat penyerapannya di atas mangrove. Jika tidak dijaga, dampaknya cukup besar.
Pelibatan masyarakat
Menurut Direktur ICCTF Tony Wagey, pelibatan masyarakat setempat merupakan kunci keberhasilan dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem wilayah laut dan pesisir, termasuk dalam rehabilitasi ekosistem padang lamun. Masyarakat jangan hanya sebagai obyek, tapi subyek yang terlibat sejak awal dalam merencanakan rehabilitasi padang lamun.
”Karena pada akhirnya, masyarakatlah yang memastikan keberlanjutan dari kegiatan rehabilitasi ekosistem padang lamun. Masyarakat pun diharapkan bisa secara mandiri melakukan kegiatan rehabilitasi,” ucapnya.
Di Kampung Yensawai, Linani Arifin (40) terpilih sebagai Ketua Kelompok Andoi, yang merupakan kelompok rehabilitasi padang lamun. Linani atau yang kerap disapa Mama Ani ini awalnya tertarik untuk turut serta dalam rehabilitasi padang lamun karena pengalaman pernah melihat dugong di sekitar kampungnya.
Ia ingin dugong tersebut bisa tetap lestari sehingga keturunannya nanti juga bisa melihat mamalia laut tersebut. Setelah tahu bahwa lamun merupakan sumber makanan dugong, Mama Ani pun bersemangat untuk turut berperan menjaga padang lamun di Kampung Yensawai.
Mama Ani mengajak sejumlah anak perempuan untuk turut membantu dalam rehabilitasi padang lamun. Awalnya hanya 16 anak perempuan usia sekolah menengah pertama yang ikut serta. Namun, saat ini anggotanya sudah bertambah menjadi 21 anak dengan dua di antaranya laki-laki. Dua anak laki-laki itu biasanya bertugas untuk membuat penjepit bambu atau gata-gata untuk menahan lamun yang baru ditanam.
”Mama sengaja lebih banyak ajak anak perempuan karena memang lebih mudah dan lebih rajin. Kalau anak laki-laki sering malas,” katanya sambil tertawa.
Biasanya, sepulang sekolah, anak-anak tersebut sudah berkumpul untuk berjalan menuju tanjung yang saat ini menjadi tempat rehabilitasi padang lamun. Tempat ini dipilih oleh masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan faktor aksesibilitas. Mereka bisa menjangkau kawasan tersebut hanya dengan berjalan kaki.
Lili (14), salah satu anggota Kelompok Andoi, mengatakan senang dan selalu bersemangat dalam merawat dan menjaga padang lamun di kampungnya. Setelah pulang sekolah dan selesai makan siang, Lili yang biasa paling awal siap untuk berangkat menuju tanjung. Ia pula yang paling sering memanggil teman-temannya untuk berangkat bersama ke tanjung. Ia pun berencana untuk tetap melanjutkan kegiatan ini ketika sudah masuk bangku SMA.
”Saya mau terus belajar untuk merawat dan menjaga andoi di kampung saya. Jika bersama teman-teman juga saya merasa senang,” ucapnya.
Menurut dia, proses yang cukup sulit dalam rehabilitasi padang lamun adalah saat mencabut atau memindah bibit lamun. Bibit lamun yang digunakan diambil dari wilayah donor atau wilayah yang sudah banyak ditumbuhi tanaman lamun.
Terdapat sejumlah metode yang umum digunakan untuk menanam lamun. Khusus di Kampung Yensawai, ada tiga metode yang digunakan, yakni metode tancap linggis dengan tanaman lamun yang diikat dengan penjepit bambu, metode ikat karung goni, serta metode menanam dengan kapowen (eco polybag yang dibuat dari pandan laut).
Metode menanam dengan kapowen ini merupakan inisiatif yang muncul dari masyarakat Kampung Yensawai sendiri. Ide ini muncul karena beberapa teknik gagal dilakukan.
Kapowen sebelumnya berhasil digunakan untuk menanam mangrove. Setelah dicoba untuk menanam lamun, ternyata hasilnya juga baik. Kapowen ini dihasilkan oleh ibu-ibu di kampung tersebut. Kapowen merupakan anyaman dari pandan laut. Selain dibentuk sebagai polybag, kapowen juga bisa digunakan untuk tas atau dompet.
Mama Ani menyampaikan, sebagian besar yang terlibat dalam proses rehabilitasi padang lamun di Kampung Yensawai adalah perempuan. Mulai dari pembuatan polybag yang dilakukan oleh para ibu sampai dengan proses menanam dan memantau lamun oleh anak-anak perempuan. Meski begitu, seluruh masyarakat ikut mendukung kegiatan yang dilakukan Kelompok Andoi.
Setidaknya, luasan padang lamun yang berhasil direhabilitasi oleh Kelompok Andoi sejak Juni 2021 hingga Maret 2022 ini mencapai 1.250 meter persegi dengan 1.761 bibit yang ditanam. Luasan ini melebihi target yang ditetapkan, yakni 500 meter persegi.
Kemandirian
Robba menuturkan, semangat masyarakat Kampung Yensawai untuk melakukan kegiatan rehabilitasi secara mandiri tanpa pamrih merupakan nilai tambah yang memperlancar dan mempermudah pendekatan dan transfer pengetahuan dari akademisi kepada masyarakat. Legalitas Kelompok Andoi kini sudah diperkuat dengan diterbitkannya surat keputusan yang ditandatangani oleh kepala kampung.
Legalitas ini penting untuk memastikan keberlanjutan program sekaligus keberlanjutan pendanaan. Kerja sama dengan pihak lain, seperti pihak swasta, dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau dalam pemanfaatan dana desa pun menjadi lebih mudah.
”Pendekatan ini bisa menjadi praktik baik yang bisa diadopsi dalam program rehabilitasi di wilayah lain, termasuk rehabilitasi pada ekosistem lain, seperti ekosistem mangrove dan karang. Penyesuaian dengan budaya dan kondisi sosial masyarakat setempat perlu diutamakan,” tuturnya.
Selepas petang, anak-anak perempuan dari Kelompok Andoi bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekalipun hampir seluruh tubuh basah karena menyelam untuk memantau lamun, tawa gembira mereka tetap terdengar jelas.
”Sa mau jaga kita pu kampung (saya mau menjaga kampung kita) buat anak cucu,” celoteh Enjelina ketika ditanya alasannya ikut dalam Kelompok Andoi. Sekalipun terdengar klise, semangat dan optimisme anak-anak muda di Kampung Yensawai inilah yang bisa memastikan lingkungan pesisir dan laut bisa tetap lestari dan berkelanjutan.