Mulai dari Karbon Biru untuk Menyelamatkan Bumi
Lautan berkontribusi besar terhadap upaya penyelamatan bumi dari pemanasan global. Laut menghasilkan setidaknya 50 persen oksigen bumi.
Laut menjadi salah satu kunci pemulihan Bumi dalam menghadapi pemanasan global. Melalui karbon biru, perairan Indonesia dapat mengambil andil besar memulihkan Bumi karena memiliki potensi 17 persen reservoir karbon dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dikejutkan dengan penemuan plastik dalam perut ikan laut yang akan dikonsumsi. Seperti pada 30 Maret 2021 lalu, Kompas memberitakan penemuan plastik sepanjang 18 cm dan lebar 2 cm pada usus ikan cakalang yang ditangkap di Laut Banda, Maluku. Hal ini tidak mengherankan jika melihat 420 ribu sampai 1,29 juta ton sampah plastik masuk ke laut.
Ekosistem perairan laut juga semakin terancam rusak. Masyarakat khususnya yang tinggal di pesisir semakin terdampak. Hal ini membuat mereka sulit bertahan karena hasil tangkapan laut semakin berkurang. Selain karena cuaca dan musim, perusakan dan alih fungsi lahan bakau, karang, atau padang lamun membuat hewan-hewan laut menghilang sehingga masyarakat pesisir sulit bertahan hidup.
Dua hal tersebut hanyalah sedikit contoh dari degradasi ekosistem laut dan pesisir yang semakin mengancam kehidupan biota laut dan manusia. Padahal Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa besar. Sebagai negara dengan lebih dari 17 pulau dengan 3,25 juta kilometer persegi luas lautan di sekitarnya, berbagai potensi alam tersedia.
Bappenas menyebutkan potensi ekonomi kelautan Indonesia mencapai 1,33 triliun dolar AS yang berada di 327 kabupaten/kota pesisir. Dalam setahun, kekayaan laut yang dihasilkan bisa mencapai 171 miliar dolar AS.
Laut juga menyimpan sumber daya untuk membantu bumi memulihkan dirinya yaitu melalui karbon biru. Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang tersimpan atau dihasilkan ekosistem laut dan pesisir. Sayangnya, potensi ini sering terabaikan.
Di bumi terdapat beberapa istilah untuk menunjukkan karbon berdasarkan sumbernya, selain karbon biru. Black carbon (karbon hitam) dan brown carbon (karbon coklat) dihasilkan dari emisi gas rumah kaca dan emisi antropogenik karbon dioksida (CO2). Karbon coklat berupa gas CO2 sementara karbon hitam berbentuk jelaga atau debu sisa pembakaran. Karbon hitam dianggap sebagai penyumbang pemanasan global kedua selain karbon coklat.
Selain kelompok ini, terdapat green carbon (karbon hijau). Karbon hijau adalah karbon yang dihilangkan dari proses fotosintesis dan disimpan dalam biomassa tanaman dan tanah di lahan perkebunan, pertanian, maupun padang penggembalaan. Karena itu ia sangat penting bagi siklus karbon global.
Karbon hijau memang sangat diandalkan untuk menahan dampak perubahan iklim. Berbagai upaya dan kebijakan lokal, regional, hingga global dikeluarkan agar hutan-hutan tidak ditebangi, reboisasi ditingkatkan, lahan gambut dijaga supaya penyimpanan karbon optimal. Namun, sebenarnya upaya menangani dampak perubahan iklim akan lebih efektif jika diikuti dengan pengelolaan dan pemanfaatan karbon biru.
Karbon Biru
Laut memiliki kemampuan menyerap karbon terbesar di dunia, melebihi karbon hijau di daratan. Setidaknya 55 persen karbon diserap oleh organisme yang hidup di laut bukan di darat.
Karbon itu ditangkap dan disimpan oleh mangrove, rawa pasang surut dan lamun. Karbon itu disimpan dalam biomassa atau di dalam tanah. Tidak seperti karbon hijau yang disimpan di tumbuhan hijau di darat selama puluhan tahun, karbon biru disimpan untuk jangka waktu lebih lama yakni ribuan tahun.
Melansir dari World Resources Institute Indonesia dan Ringkasan Kebijakan “Payments for Blue Carbon Potential for Protecting Threatened Coastal Habitats” Duke University, jumlah karbon yang disimpan oleh eksosistem pesisir tidak kalah besar dibandingkan hutan tropis. Contohnya, mangrove estuari dan oseanik masing-masing dapat menyimpan 464 ton CO2eq per hektar dalam biomassa hidup. Jika disimpan melalui karbon organik tanah, jumlahnya bisa mencapai 1.060 ton CO2eq per hektar dan 1.779 ton CO2eq per hektar.
Sementara hutan tropis dapat menyimpan 600 ton CO2eq per hektar karbon pada biomassa hidup dan 200 ton CO2eq per hektar pada organik tanah. Pada lingkungan khusus seperti hutan tropis di Indonesia dengan lahan gambut, kapasitas penyerapan karbon bisa mencapai 2.900 ton CO2eq per hektar.
Di Indonesia, potensi karbon biru cukup besar. Secara khusus, penelitian berjudul “Indonesia’s Blue Carbon: A Globally Significant And Vulnerable Sink For Seagrass And Mangrove Carbon (2015)” menyebutkan padang lamun dan mangrove di Indonesia menyimpan 17 persen reservoir karbon dunia. Jumlah karbon yang disimpan tersebut mencapai 3,4 metrik ton karbon. Sementara peyimpanan karbon di semua lahan basah pesisir dunia diperkirakan mencapai 20 metrik ton karbon.
Potensi tersebut tersimpan pada mangrove dan padang lamun yang tersebar cukup luas di Indonesia. Pada tahun 2015, luas mangrove di Indonesia mencapai 3,9 juta hektar yang terbentang di garis pantai sepanjang 95 ribu kilometer persegi. Luasan tersebut setara 23 persen ekosistem mangrove dunia dan menjadi yang terluas di dunia.
LIPI memperkirakan potensi luasan tumbuhan lamun Indonesia mencapai 832 ribu hektar sampai 1,8 juta hektar. Namun, berdasarkan validasi lapangan dan berbagai data, luas lamun di Indonesia pada 2018 sebesar 293.464 hektar. Luas tersebut menggambarkan 16-35 persen dari potensi luasan yang ada.
Harga dari kerusakan
Sayangnya, potensi tersebut belum dapat memberi manfaat dengan optimal. Selain karena kurang lengkapnya data sebaran ekosistem pesisir, kerusakan ekosistem menghambat perolehan manfaat dari kekayaan alam laut itu.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan 52 persen luas mangrove Indonesia pada 2015 dalam kondisi rusak. Padahal, jika total luas mangrove seluas 3,9 juta hektar dalam kondisi baik, vegetasi tersebut dapat menyumbang setidaknya 1,5 miliar dollar AS dari sektor perikanan untuk perekonomian nasional.
Tak hanya rusak, mangrove juga mengalami deforestasi terus menerus. Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40 persen mangrovenya. Angka tersebut menunjukkan cepatnya kerusakan dan deforestasi mangrove di Indonesia hingga menjadi yang tercepat di dunia. Laju kerusakan mangrove mencapai 52 ribu per hektar melebihi capaian rehabilitasi per tahun.
Jika merujuk pada penyimpanan karbon pada mangrove, deforestasi mangrove seluas satu persen setiap tahunnya akan melepaskan CO2 sebesar 26,4 ribu kiloton CO2eq hingga 29 ribu kiloton CO2eq setiap tahunnya. Jumlah CO2 yang dilepaskan tersebut setara dengan 3,2 persen emisi CO2 yang disebabkan oleh konversi lahan hutan dan gambut per tahunnya.
Tidak heran, dampaknya bisa berpengaruh terhadap kondisi bumi secara global. Hilangnya hutan mangrove di Indonesia berkontribusi terhadap 42 persen emisi gas rumah kaca dunia dari perusakan ekosistem pesisir.
Pengelolaan Pesisir
Kerusakan ekosistem pesisir terutama pada mangrove dan padang lamun tidak terhindarkan selama aktivitas manusia di pesisir tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Sejumlah faktor berkurangnya mangrove di Indonesia adalah karena perubahan lahan mangrove menjadi perkebunan sawit, tambak udang, bahkan perladangan illegal masyarakat. Selain itu, pengembangan pantai, reklamasi, penggunaan alat tangkap, budidaya, pembuangan limbah ke laut juga turut merusak mangrove dan padang lamun.
Padang lamun dan mangrove di Indonesia menyimpan 17 persen reservoir karbon dunia
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki regulasi perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove. Peraturan ini ditindaklanjuti melalui Permenko Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Mangrove Nasional.
Targetnya adalah mengembalikan ekosistem mangrove seluas 3,94 hektar pada 2045. Untuk karbon biru, sejumlah kebijakan baru disusun dalam beberapa tahun terakhir. Karbon biru masuk dalam arah pembangunan rendah karbon pada RPJMN 2020-2024. Untuk mendorong optimalnya program ini, Bappenas telah menginisiasi pembentuk Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF).
Potensi laut tidak kalah besar dibanding daratan. Lautan berkontribusi besar terhadap upaya penyelamatan bumi dari pemanasan global. Laut menghasilkan setidaknya 50 persen oksigen bumi. Karena itu perlindungan ekosistem pesisir tidak kalah penting dibandingkan daratan.
Hidup dan mati bumi salah satunya ditentukan oleh pengelolaan lautan. Sesuai dengan tema Hari Laut Dunia yang jatuh pada 8 Juni 2021, “Laut adalah Hidup dan Penghidupan”. Ini dapat diawali dengan mengelola potensi karbon biru di Indonesia dan dunia. (LITBANG KOMPAS)
Sumber artikel kompas.id