Memperkuat Kawasan Konservasi dalam Mewujudkan Wisata Bahari Berkelanjutan
Sri Yanti (Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Bappenas)
Ditulis oleh Sri Yanti, Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Bappenas.
INFO NASIONAL-Konsep pengembangan kawasan konservasi menjadi salah satu tujuan wisata adalah suatu upaya untuk menyeimbangkan antara pelestarian dan pemanfaatan. Tentunya dengan memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan dan juga alokasi zonasi dalam kawasan. Dengan luas kawasan konservasi perairan 28,4 juta hektar, yang terbentang dari Barat sampai Timur Indonesia tentunya potensi wisata yang dimiliki sangat besar. Melihat kondisi yang ada saat ini, tren wisata sudah berubah, dari mass tourism ke wisata spesifik dan minat khusus yang sebagian besar daya tarik wisatanya ada di wilayah pesisir. Namun, apakah lahan itu bisa dikembangkan jadi destinasi wisata? Tentunya harus ada banyak upaya yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini dan juga diperlukan kajian untuk mengidentifikasi peluang dan tantangannya.
Ada banyak upaya yang sudah dan harus dilakukan untuk mendukung pengembangan wisata di kawasan konservasi. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah melalui program COREMAP-CTI dengan menyediakan sarana prasarana wisata skala kecil dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan wisata untuk wilayah Bali-Nusra dan Papua Barat.
Untuk wilayah Bali-Nusa Tenggara (Bali-Nusra) sendiri terdapat lebih dari 25 titik kawasan konservasi perairan mulai dari Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Kawasan berstatus konservasi dengan kondisi yang masih terlindungi harusnya menawarkan potensi alam yang masih lestari sehingga memungkinkan kegiatan wisata yang nyaman dan aman.
Konsep pengembangan konektivitas wisata bahari di kawasan Bali-Nusra adalah semangat bijak untuk menggairahkan perekonomian di dua wilayah yang terkenal dengan keindahan alamnya diskursus tentang hal ini telah menjadi pembahasan di berbagai forum, termasuk Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Majelis Wali Amanat Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF). Inisiatif ini seiring dengan arahan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, yang sejak awal 2021 telah melirik potensi pariwisata minat khusus berkelanjutan di daerah Bali Nusra ini. Tentunya menjadi tugas kita semua untuk mengembangkan secara bijak potensi tersembunyi ini guna menghindari kondisi tawar-menawar (trade-off) antara pembangunan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya alam.
Pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan ditunjang melalui pengembangan konsep 10 New Bali. Dari 10 destinasi, tujuh diantaranya terletak di kawasan laut dan pesisir, seperti Mandalika dan Labuan Bajo yang memungkinkan koneksivitas ke Bali. Muncul gagasan untuk menyalurkan turis mancanegara keluar wilayah Bali, mulai dari kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Gagasan ini memerlukan kerja sama antarpemerintah daerah yang saling menguntungkan.
Perlu Pemetaan Potensi Kawasan
Aplikasi konsep ekonomi biru (blue economy) jadi cara jenius mengembangkan wisata bahari dengan memanfaatkan kawasan konservasi. Tentunya dengan harapan bahwa pengelolaan wisata ini bisa dikelola secara berkelanjutan. Kemudian, investasi yang masuk juga perlu mendapatkan kepastian dan kesesuaian ruang laut untuk menghindari konflik pemanfaatan. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk pengembangan kawasan Bali-Nusra.
Pertama, pemetaan potensi kawasan di Bali-Nusra untuk menentukan target pasar atau atraksi yang ditawarkan untuk wisata ini dengan mempertimbangkan keunikan atau kekhasan dari masing masing lokasi yang dapat menjadi ikon wisata. Kedua, perlu adanya dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah (Pemda), seperti mengalokasikan ruang lokasi untuk keamanan investasi. Ketiga, memastikan kesehatan Sumber Daya Laut dan Pesisir (SDLP). Hal ini diperlukan karena kawasan konservasi memerlukan sumber daya yang sehat untuk dapat memberi nilai tambah dari pemanfaatan jasa lingkungan sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2019, sebanyak 97,3 persen wisatawan asing yang berkunjung ke NTT berasal dari Timor Leste. Kemudian, Eropa 1 persen, Australia 0,3 persen dan Filipina 0,2 persen. Para wisatawan ini menjadikan NTT sebagai pintu masuk ke Indonesia melalui lintas batas Indonesia dan Timor Leste. WNA yang menuju ke Labuan Bajo berasal dari kota lain dengan menggunakan sarana pesawat terbang maupun menggunakan kapal wisata.
Selain itu, pada tahun 2019, hampir 500 unit kapal pinisi beroperasi di perairan Labuan Bajo dan sekitarnya dengan pelayanan inap di atas kapal. Sebanyak 300 kapal memberi kontribusi untuk perekonomian Kabupaten Manggarai Barat. Namun, hanya 56 kapal yang memiliki homebase di Labuan Bajo. Diperkirakan rata-rata kunjungan kapal wisata berlabuh di Labuan Bajo sebanyak 60 kapal.
Konsep pengembangan kawasan Bali – Nusra ini berdasarkan pada fenomena pariwisata di banyak negara yang over-tourism atau wisata berlebihan. Selandia Baru mengalami peningkatan wisatawan dari 1,2 juta pada tahun 2013 menjadi 3,8 juta pada tahun 2018. Menyikapi hal ini, sebanyak 39 persen masyarakat setempat menolak tambahan wisatawan karena muncul masalah baru misalnya sampah yang meningkat dan tidak tertangani.
Hal ini juga terjadi pada Bali yang dinilai mengalami over-tourism. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013 menyebutkan bahwa wisatawan mancanegara yang datang ke Bali sebanyak 3,2 juta orang, sedangkan pada tahun 2018 sebanyak 6 juta orang. Terjadi kenaikan sebesar 85,1 persen dalam waktu 5 tahun. Begitu pun jumlah wisatawan domestik yang mengalami kenaikan sebesar 39,9 persen dalam rentang 2013 hingga 2018.
Dampak over-tourism ini terlihat pada sektor lingkungan, ekonomi, serta sosial. Misalnya dampak lingkungan terlihat dari bertambahnya sampah plastik, degradasi lingkungan, serta terganggunya kehidupan biota laut. Indikator dampak perekonomian, khususnya pada UMKM terlihat dengan masuknya produk impor secara masif sehingga mengancam ekonomi masyarakat lokal. Indikator dampak pada kehidupan sosial terlihat dengan derasnya budaya lokal yang diubah untuk keperluan komersialisasi pariwisata.
Bappenas berinisiatif menyusun kebijakan guna mencari solusi permasalahan ini. Selain itu, pengembangan potensi wisata bahari yang ada di kawasan konservasi perairan NTT maupun NTB masih belum maksimal. Sebab, pengembangan kawasan konservasi masih belum menemukan kesamaan konsep maupun visi dan misi. Bahkan, sering kali muncul kekhawatiran yang berlebihan.
Secara serius, Bappenas akan melakukan pengembangan kawasan konservasi menjadi wisata bahari yang spesifik dan wisata minat khusus memanfaatkan kunjungan kapal pariwisata dan bukan menjadikan kawasan wisata umum atau mass tourism. Bappenas bersama ICCTF merancang pembangunan pengembangan kawasan Bali-Nusra menjadi kawasan yang bisa menyambungkan perjalanan antara tiga provinsi itu.
Mengkaji Pasar Sebelum Penetuan Kawasan
Kalangan praktisi pariwisata menilai sebelum penentuan kawasan wisata Bali-Nusra, hal pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan pasar. Perlu diidentifikasi kawasan yang ingin dikembangkan tersebut apakah sudah tersedia sarana dan Sumber Daya Manusia yang memadai. Kemudian, optimalisasi promosi kawasan. Selain itu, soal dukungan anggaran dan infrastruktur.
Tren wisata global tengah berkembang dari mass tourism menjadi wisata minat khusus. Seperti wisata yang di dalamnya terdapat interaksi dengan alam, aktivitas fisik, dan pertukaran budaya. Semua pihak menyadari tanggung jawabnya untuk menjaga lingkungan, habitat alam, sosial, budaya, dan ekonomi dapat mensejahterakan masyarakat lokal.
Kedua, model transformatif yakni melibatkan pengalaman yang dapat merubah perilaku (perspektif) dan berdampak positif terhadap kawasan dan dunia. Ada lima hal yang perlu dipersiapkan dalam pengembangan wisata ini, yakni dukungan kebijakan, pemetaan potensi, penguatan SDM, investasi, dan strategi marketing.
Dukungan kebijakan itu meliputi rencana pengembangan infrastruktur wilayah yang berfokus pada kawasan konservasi untuk mendukung kegiatan pariwisata. Relaksasi aturan investasi dan retribusi dari pengelola kawasan. Subsidi penguatan promosi dari pemerintah pusat, daerah, dan tourism board serta insentif permodalan dari Pemda maupun Himbara.
Kemudian, pemetaan potensi kawasan berbasis pulau dan laut. Misalnya, dari sisi special interest berupa diving. Setelah itu, lanjut pada wisata alternatif seperti surfing, memancing, pertukaran budaya, menikmati kuliner atau aktivitas pantai lainnya. Untuk target pasarnya adalah para pelaku diving, wisatawan olahraga air, pelajar, pelaku bisnis hingga solo traveller.
Skema Konektivitas Bali-Nusra
Skema konektivitas Bali-Nusra digagas dengan memanfaatkan kawasan konservasi perairan pada jalur Bali-Nusra. Menghubungkan Bali hingga NTT akan melewati beberapa titik kawasan konservasi yang tersebar mulai dari Nusa Penida, Manggarai, hingga Alor. Inilah yang selama ini menjadi jalur pelayaran kapal wisata atau kapal pinisi yang berfokus pada kegiatan diving, island shopping, dan menikmati alam laut sekitarnya. Bagi pelaku wisata kapal, kawasan ini dikenal sebagai existing track dan atau connecting track untuk meneruskan eksplorasi ke Utara Nusa Tenggara.
Kajian untuk menghubungkan wisata Bali hingga Nusa Tenggara bisa dimulai dari kawasan konservasi Nusa Penida. Kapal pinisi biasanya berangkat dari Sarangan atau Benoa kemudian berlayar ke kawasan konservasi daerah Sekotong Lombok Barat sebagai jalur pendek. Di tempat ini, ada potensi diving terbaik setelah Bali karena arus tenang, visibility paling bagus, kecuali di rentang Oktober hingga Desember. Perjalanan selanjutnya diteruskan ke kawasan konservasi perairan nasional Gili Matra (Meno, Ayer, dan Trawangan).
Meneruskan jalur pendek menjadi lebih panjang, perjalanan dapat dilanjutkan ke kawasan perairan di Lombok Timur dan Sumba bagian Barat, termasuk Gili Balu dan Pulau Panjang, yang hingga kini, walau belum dieksplorasi secara luas diyakini memiliki dive spot dan gugusan pulau yang memukau. Perjalanan kemudian dapat dilanjutkan ke Pulau Moyo yang didalamnya terdapat air terjun terbaik di dunia. Namun, potensi ini tidak pernah dipasarkan maksimal.
Setelah itu, terusan wisata bahari bisa dilanjutkan ke Teluk Saleh. Teluk ini telah diidentifikasi sebagai tempat hiu paus. Eksplorasi berikut dilanjutkan ke kawasan Tambora dan Pulau Sangeang. Wisatawan asing menyebutnya sebagai ring of fire di Indonesia. Setelah itu, wisata bahari dapat dilanjutkan ke Labuan Bajo atau Pulau Komodo sebagai endpoint pertama. Di Labuan Bajo inilah eksploitasi dilanjutkan dipulau sekitar kawasan di antaranya Pulau Komodo, Padar, dan Rinca.
Sebagian dapat mengakhiri perjalanan di Labuan Bajo, sebagian dapat melanjutkan jalur panjang dan meneruskan ke bagian Timur Flores berujung pada Pulau Alor yang dikenal sebagai one of the best destination in the world.
Apakah konekvitas ini optimal? Belum. Karena Bali Nusra atau kita mengenalnya dengan Sunda Kecil menawarkan lebih dari konekvitas di atas yang selama ini berfokus pada jalur pelayaran bagian utara. Konekvitas di atas telah menjadi pilihan selama ini, namun keberadaan kawasan konservasi perairan yang menyebar dari utara hingga selatan Sumbawa dan Flores juga memiliki potensi untuk konektivitas baru. Terdapat Pulau Sumba yang memiliki kekayaan historikal alam dan budaya yang kuat, pesisir selatan Flores dengan hamparan pantai seputih salju, dan kemegahan laut Sawu sebagai habitat ikan-ikan kharismatik dunia, seperti paus, hiu, dan lumba-lumba juga diharapkan dapat menjadi pilihan dalam pengembangan wisata minat khusus.
Konsep pengembangan konektivitas wisata bahari ini diharapkan dapat terwujud untuk mendukung inisiatif blue economy, dengan mensinergikan tujuan konservasi untuk melestarikan sumber daya alam pesisir dengan pemanfaatan melalui wisata, sehinga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor bahari. (*)