Membangun Pertanian Rendah Karbon
BERTANI di lahan gambut ialah hal umum di daerah sekeliling penyangga kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Meski begitu, cara pemanfaatan lahan itu kerap menimbulkan dampak lingkungan yang besar karena pembukaan lahan dengan pembakaran. Hal itulah yang coba diubah Yayasan Orang Utan Indonesia (Yayorin). Dengan mendapat penyaluran dana dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), yayasan itu mendorong dan mendampingi masyarakat untuk mengolah lahan tanpa bakar. Dari total 300 hektare, di bawah proyek bernama Pertanian Lahan tanpa Bakar (PLTB) yang dikerjakan sejak 2018, hingga kini sudah 20 hektare lahan pertanian mengadopsi konsep tersebut.
Memang, keberhasilan masih jauh sebab lahan pertanian yang digarap warga mencapai puluhan ribu hektare. Luasan sekeliling penyangga kawasan Suaka Margasatwa Lamandau yang berkategori gambut dalam itu sendiri mencapai 23 ribu hektare. Di sekeliling kawasan penyangga itu berdiam empat desa yang berada di tingkat gambut menengah 50 cm-1 meter. Keempat desa itu ialah Tanjung Putri, Tanjung Terantang, Mendawai, dan Mendawai seberang. Pada area penyangga suaka 23 ribu hektare itu, yayasan mengklaim perhitungan kisaran kontribusi penurunan tingkat emisi 30 ton per hektare pada gambut atas (permukaan) sejak 2010-2018. Jika diukur pada gambut dalam kisaran menyerap emisi sampai puluhan ribu ton emisi.
“Masyarakat di Kalimatan Tengah umumnya membuka lahan pertanian masih dengan membakar. Kami melakukan pendekatan bagaimana masyarakat tidak lagi membakar dalam mengelola lahannya,” cerita Direktur Yayasan Orang Utan Indonesia Eddy Santoso, di Jakarta, Kamis (21/11). Edukasi yang dibangun ialah pertama mengubah cara buka area dari membakar menjadi mengolah lahan. Kemudian menggeser sistem tanam padi tunggal menjadi sistem cetak sawah. Dengan sistem itu, sawah tidak lagi dibiarkan menjadi semak-semak.
“Kami membuat demplot awalnya untuk tanaman campuran, sayuran dan padi gambut. Jadi, setelah tanam padi dan panen padi lalu tanah diolah tanahnya untuk tanaman demplot dan berkelanjutan. Hasilnya sampai sekarang berkelanjutan. Kalau pertanian yang aslinya menggunakan lahan, setahun sekali. Lahan didiamkan sampai bersemak itu yang membuat kebakaran,” jelas Eddy.
Memang dia akui biaya mengolah lahan akan lebih mahal di awal jika dibandingkan dengan cara membakar lahan, yaitu Rp7 juta per hektare jika dibandingkan dengan cara membakar yang hanya butuh Rp4 juta per dua hektare. Alasannya, Pertanian Lahan tanpa Bakar (PLTB) membutuhkan waktu tumbuh bibit dan semai. Selain itu, di awal tahap pencetakan lahan membutuhkan alat mesin pertanian (alsintan) seperti traktor.
“Tapi Rp4 juta itu kalau lancar pembakarannya. Kalau turun hujan, ya, gagal proses penghancuran dari semak-semak. Biaya sudah hilang dan tidak berhasil. Kemudian tunggu lagi musim panas agar tanahnya panas, dia keluarkan biaya dan tiba- tiba bisa hujan lagi,” ungkap Eddy. Sementara itu, dalam sistem pengolahan lahan, perubahan iklim tidak menghalangi petani untuk berproduksi. Di tahun kedua, biaya juga sudah turun menjadi setengahnya, Rp3,5 juta. Bawang merah menjadi salah satu tanaman yang berhasil panen di lahan gambut. Tanaman cabai dan bawang merah membutuhkan total waktu paling lama 3-4 bulan hingga panen.
Kemudian tanah bisa diolah lagi di lahan gambut seperti untuk padi, daun bawang, kedelai, mentimun, terong, pare, buncis, dan kacang panjang. Meski begitu, Eddy mengungkapkan jika pihaknya masih membutuhkan penyempurnaan tentang penanaman bawang merah di lahan gambut. Ternyata, komoditas bawang yang ditanam di lahan gambut berair, mengalami tingkat penyusutan yang tinggi saat dikeringkan. “Tapi berarti bawang merah bisa tidak perlu lagi impor dari Jawa. Sebenarnya Kalimantan Tengah juga bisa olah dan produksi sendiri. Tinggal kita memainkan lahannya, salah satunya pengolahan dengan menaburi kapur sebagai nutrisi umbi bawang lebih kuat dan tahan lama,” tambahnya.
Tidak ada lagi kebakaran Konsep Pertanian Lahan tanpa Bakar PLTB ini mengajak masyarakat menjaga gambut tetap tidak terbakar. Karena itu, tindakan itu dalam pertanian dianggap sebagai pembangunan rendah karbon. Sebagai dampak lingkungan, di Desa Tanjung Putri, tidak lagi ada kebakaran. Sebagai pembelajaran, dia melihat pada semua kasus kebakaran lahan, manusia bertindak lebih reaktif pada saat api membesar. Padahal, proses pendampingan dan pemberdayaan yang seharusnya lebih kuat.
“Kami melakukan pendekatan bagaimana masyarakat tidak lagi membakar dalam mengelola lahannya.”
Eddy Santoso, Direktur Yayasan Orang Utan Indonesia
“Di kawasan yang kami gagas sebagai isu pertanian lahan tanpa bakar itu, kemarin kami perkirakan berhasil menekan emisi sampai puluhan ribu ton per hektare yang diserap dari lahan gambut pertanian yang tidak terbakar,” tambah Eddy.
Inisiasi sawah cetak itu akhirnya masuk program dinas tanaman pangan dan perkebunan kabupaten. Bupati Pangkalan Bun, kata Eddy, kini juga telah membuat jalur jalan aspal untuk menuju ke desa-desa itu dari sebelumnya perjalanan harus dijangkau selama 2,5 jam jalur off road dan via sungai.
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Bayu Dwi Apri Nugroho mengatakan yang dibutuhkan petani ialah prediksi iklim yang lebih akurat. Dia bersama tim membangun konsep smart farming atau pertanian cerdas yang menggabungkan budi daya dengan metode system of rice intensification (SRI). Smart farming berupa pemasangan sensor tanah dan cuaca pada satu lahan.
“Dari situ kami membuat prediksi. Yang dibutuhkan petani masalah kepastian dari iklim yang tidak menentu. Olahan alat ini dapat dilihat melalui aplikasi maupun web, yang akan memberi notifikasi dan rekomendasi ke petani, mengenai apa yang harus dilakukan,” tukas Bayu. (Try/M-1)
Sumber artikel: Media Indonesia edisi 30 November 2019