Memaknai Kebijakan Presisi Perikanan
SETELAH sebelumnya, kapal berbendera Tiongkok memasuki wilayah perairan Indonesia, kali ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan telah menangkap puluhan kapal pencuri ikan dari wilayah perairan Indonesia. Sebanyak 25 kapal berbendera Vietnam di antaranya secara terang-terangan melakukan aksi pencurian ikan, itu karena mendapat pengawalan langsung dari coast guard Vietnam yang berada di unresolved boundary area atau daerah batas yang belum terselesaikan. Kondisi ini mengkhawatirkan dan memerlukan sinergitas stakeholders terkait.
Bermodal luas wilayah lautan 3,25 juta km2, Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat limpah. Seperti udang, tuna dan jenis ikan lainnya, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut. Semua itu merupakan kekayaan alam yang berkontribusi signifikan bagi penerimaan negara. Karenanya, salah satu bentuk peningkatan kontribusi kelautan/kemaritiman bagi peningkatan kemakmuran masyarakat adalah peningkatan produksi perikanan secara berkelanjutan.
Tercatat, nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp73,68 miliar, atau meningkat sekitar 10% dibanding 2018 (year on year/yoy). Produk perikanan sendiri berasal dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap yang memerlukan pengelolaan berkelanjutan secara konsisten dan tepat atau presisi.
Permasalahan perikanan
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat beragam permasalahan yang terjadi pada sektor perikanan. Di antaranya, soal rendahnya daya dukung lingkungan, ketersediaan benih dan pakan, kepastian tata ruang, optimalisasi teknologi dalam penyediaan informasi lokasi penangkapan dan informasi pasar, kondisi sumber daya, serta struktur armada. Mencuatnya permasalahan ini menunjukkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia masih jauh dari sempurna.
Mengabaikan pengelolaan perikanan berkelanjutan, berpotensi menciptakan banyak masalah baik terhadap nelayan dalam negeri maupun negara tetangga. Karena itu, implementasi kebijakan presisi mendesak untuk dijalankan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Termasuk kebijakan presisi dalam pengamanan wilayah perairan Indonesia.
Kebijakan Presisi
John Robert (Taylor JR, 1999) mengatakan bahwa presisi menunjukkan seberapa dekat perbedaan nilai pada saat dilakukan pengulangan pengukuran. Artinya, meski dilakukan pengulangan pengukuran dalam kondisi yang sama, hasilnya tidak berubah. Karena itu, kebijakan presisi dapat dimaknai sebagai kebijakan pemerintah yang direncanakan, disusun, diuji coba serta dievaluasi secara berulang untuk mendapatkan hasil yang sama. Singkatnya, presisi mengandung unsur ketepatan dan ketelitian.
Kebijakan presisi perikanan dapat diartikan regulasi pemerintah yang sejak disusun hingga implementasinya mengandung unsur tepat dan teliti. Pertanyaannya, tepat dan teliti dalam hal apa? Berangkat dari permasalahan perikanan di atas, paling tidak ada 5 aspek yang membutuhkan kebijakan presisi; pertama, melalui kebijakan presisi maka pengawasan dapat dijalankan secara efektif. Pengawasan bukan hanya diperuntukkan bagi para pelaku IUU fishing semata, namun juga bagi pelanggar dari setiap aturan atau kesepakatan terkait perikanan berkelanjutan yang telah dibuat.
Pada bagian ini, kebijakan presisi juga sangat dibutuhkan dalam mengukur kemampuan SDM, ketersediaan sarana prasarana pendukung, dan pendanaan bagi tugas pengamanan wilayah perairan Indonesia. Tujuannya, untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Tanpa kebijakan presisi, maka kasus pencurian ikan oleh kapal asing dan klaim sepihak negara tetangga terhadap wilayah perairan Indonesia, akan berulang.
Kedua, perlindungan terhadap nelayan perikanan skala kecil dapat diwujudkan optimal melalui kebijakan presisi. Melalui data jumlah nelayan skala besar hingga kecil yang diketahui secara tepat, maka setiap alokasi bantuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan skala kecil tepat sasaran. Harus diingat, bahwa nelayan merupakan aktor utama dalam sektor perikanan.
Ketiga, jumlah armada penangkapan ikan nasional harus diatur berdasarkan kebijakan presisi. Saat ini, ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton) ke bawah mencapai sekitar 89% dari total kapal ikan yang ada (2012). Kapal berukuran 5 GT ke bawah umumnya hanya mampu beroperasi di perairan pantai atau di perairan teritorial (di bawah 12 mil), sehingga mayoritas armada penangkapan ikan di Indonesia banyak terkonsentrasi di perairan pantai yang terbatas, baik luasan maupun sumber daya ikannya.
Apalagi, kapal ikan berukuran kecil ini, yang merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan relatif masih bersifat open access. Akibatnya, jumlah peningkatan armadanya menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk, dan sangat berdampak pada keberadaan serta keberlanjutan sumber daya ikan di perairan pantai.
Sinergitas dan komitmen
Keempat, hasil tangkapan nelayan perlu diatur melalui kebijakan presisi sehingga dapat meminimalisasi dan mencegah berlangsungnya kegiatan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing di perairan Indonesia. Sebagai gambaran, kerugian Indonesia akibat kegiatan illegal fishing saja (penangkapan ikan yang ilegal atau tidak memiliki izin lengkap) di laut Arafura mencapai kisaran Rp40 triliun per tahun. Belum termasuk kerugian dari aktivitas unreported dan unregulated fishing.
Kelima, penggunaan alat tangkap perlu diatur melalui kebijakan presisi, sehingga potensi kerusakan lingkungan akibat penggunaan alat tangkap yang destructive (merusak) atau bahan-bahan berbahaya dalam kegiatan operasi penangkapan ikan, dapat dicegah. Termasuk hasil tangkapan sampingan yang tidak dimanfaatkan dan/atau juvenile (anak-anak ikan), karena alat-alat penangkapan ikan yang tidak selektif.
Upaya mewujudkan kebijakan presisi tersebut tentu membutuhkan sinergitas dan komitmen dari semua pihak terkait. Tujuannya demi terciptanya pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pemerintah harus menggandeng masyarakat, akademisi, pelaku usaha, masyarakat dan media massa untuk bersama-sama mewujudkan dan mengawal ketat berjalannya kebijakan presisi perikanan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menargetkan produksi ikan 2024 mencapai 20,4 juta ton, yang terdiri dari perikanan tangkap 10,10 juta ton dan perikanan budidaya 10,32 juta ton. Melalui kebijakan presisi, target ini sangat mungkin dicapai. Intinya, memaknai kebijakan presisi perikanan berarti mencermati, mengimplementasi sekaligus mengawasi secara konsisten setiap kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Dukungan digitalisasi
Pembentukan kebijakan presisi sangat terkait dengan dukungan digitalisasi, sehingga setiap elemen dari aspek-aspek yang dicermati dapat terdata optimal. Pihak terkait dapat melakukan monitoring terhadap perkembangan yang terjadi, sekaligus memberikan masukan dan evaluasi bagi permasalahan yang mungkin terjadi.
Kebaruan data dilakukan secara berkala sesuai perkembangan terbaru, hingga membentuk sistem yang tepat dan teliti. Dalam hal ini, sikap responsif setiap pihak harus diutamakan demi menjaga dan mengawal ketat keberlangsungan kebijakan presisi yang dimaksud. Pada akhirnya, bermodalkan kebijakan presisi perikanan seperti ini, dapat dipastikan potensi perikanan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia tergarap optimal. Tentu saja sebagian di dalamnya ditujukan bagi kesejahteraan nelayan. Semoga.
Artikel telah terbit di mediaindonesia.com pada 9 Oktober 2020