Blue Carbon Indonesia Simpan 17 Persen Cadangan Dunia
JAKARTA — Ekosistem Blue Carbon yang di dalamnya berupa ekosistem pesisir terutama mangrove, padang lamun dan kawasan rawa payau merupakan ekosistem penyerap serta penyimpan karbon alami dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki luas kawasan mangrove 3.2 juta hektare (ha) dan luas padang lamun tiga juta hektare. Dengan luasan tersebut ekosistem Blue Carbon, Indonesia dapat menyimpan hingga 17 persen dari cadangan Blue Carbon dunia sehingga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengurangi perubahan iklim.
Sebagai upaya memasukkan Blue Carbon menjadi salah satu strategi penurunan emisi untuk memenuhi target NDC di tahun 2030, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, secara virtual Rabu (5/5), mendengarkan pendapat dan masukan dari para ahli. Diskusi yang dibalut dengan tema “Executive Brief: State of The Art Blue Carbon di Indonesia” ini dihararapkan dapat memberikan pemahaman yang sama antar Kementerian/Lembaga terutama KLHK dan KKP mengenai status terkini dari konsep dan strategi pengembangan Blue Carbon.
Para ahli yang diminta pendapatnya oleh kedua menteri tersebut adalah Prof Daniel Murdiyarso dari CIFOR – IPB yang menjelaskan Blue Carbon dalam perspektif pengelolaan lahan basah nasional dan global; Dr Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardani dari Pusat Riset Kelautan KKP, yang memberikan masukan terkait Potensi carbon sink dan acid generation pada ekosistem laut; Prof Rohani Ambo Rappe dari UNHAS yang memberikan keterangan terkait Potensi padang lamun (seagrass) dalam mitigasi perubahan iklim; dan Prof (Ris) Dr Haruni Krisnawati dari Badan Litbang dan Inovasi KLHK yang memaparkan Potensi kontribusi mangrove terhadap target penurunan emisi GRK Indonesia.
Menteri Siti dalam sambutan pembukanya menerangkan bahwa masukan dari para ahli tersebut sangat dibutuhkan oleh para eksekutif, khususnya di KLHK dan KKP untuk dapat dijadikan sebagai sumber ilmiah terhadap suatu kebijakan. Menurut Menteri Siti, Blue Carbon memiliki peran yang penting, dan proses inventarisasi GRK sudah harus membedakan antara ekosistem Blue Carbon dan ekosistem hutan daratan, agar Blue Carbon memilki tempat khusus dan perkiraan penyerapan emisi GRK dan pelaporan emisi GRK akan menjadi lebih akurat pada tingkat nasional.
“Pertemuan ini sangat penting, karena akan menjadi titik tolak langkah awal untuk meningkatkan langkah-langkah kita dalam pencapaian NDC maupun dalam mengatasi emisi karbon,” terang Menteri Siti dalam siaran persnya.
Pada kesempatan ini, Menteri Trenggono meminta agar secara bersama-sama dapat merumuskan dan menyepakati kebijakan terkait Blue Carbon di Indonesia dengan ekosistem berupa mangrove, padang lamun dan rawa payau. Menteri Trenggono juga mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut terkait Blue Carbon yang dilakukan KLHK, KKP, LIPI dan lembaga penlitian lainnya, untuk dijadikan dasar ilmiah dalam suatu kebijakan. Dirinya juga mengharapkan ekosistem laut dan pesisir dapat dijaga kelestariannya, agar dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
“Kita juga harus melihat bahwa Blue Carbon juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menciptakan nilai ekonomi melalui perdagangan carbon. Serta kita harus bersama-sama memastikan bahwa indeks kesehatan laut Indonesia dapat meningkat, saat ini indeks ada di angka 65 atau menempati ranking 137 dari 221 dan ke depan harapannya angka tersebut dapat meningkat hingga 76 pada tahun 2024,” terang Menteri Trenggono.
Sekilas tentang masukan para ahli, Prof Daniel Murdiyarso menyampaikan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem Blue Carbon sangat tinggi. Dirinya mencontohkan salah satunya adalah mangrove yang nilainya dapat mencapai lebih dari 90 ribu Dolar Amerika per-ha. Nilai ini bukan hanya dari kemampuan mangrove dalam menyerap karbon, tetapi juga jasa lingkungan yang dapat diberikan seperti pencegah abrasi dan kenaikan tinggi muka air laut, industri perikanan, dan ekowisata.
“Ekosistem Blue Carbon menyediakan barang dan jasa lingkungan dengan spektrum yang lebar, karbon salah satunya dan itu sangat penting bagi Indonesia dan dunia. Kerangka peraturan dan tata kelola perlu disusun berdasarkan data dan informasi yang handal, dan mengarusutamakan Blue Carbon ini memerlukan political will yang kuat agar dapat mencapai tujuan agenda global dan nasional,” terang Prof Daniel Murdiyarso.
Artikel ini tayang di republika.co.id pada 6 April 2021