Air dan Perubahan Iklim

Pada 22 Maret lalu, kita memeringati sebagai Hari Air Sedunia. Tema tahun ini adalah Water and Climate Change. Diterjemahkan menjadi Air dan Perubahan Iklim sekaligus menjadi judul opini tulisan ini.

Tulisan ini mencoba menggugah kepedulian pembaca akan pentingnya air bagi kehidupan manusia, hewan, tanaman, industri dan lainnya. Segi lain, harus disadari bahwa sumber daya air bukan barang yang tersedia sepanjang masa. Ada keterbatasan dalam ketersediaannya. Untuk itu dibutuhkan regulasi di dalam proses pengadaan, pemeliharaan, dan penggunaannya.

Perilaku manusia yang kadang (baca selalu) hedonis membuat sumber daya air menjadi terbatas. Padahal Indonesia ini merupakan kawasan dengan curah hujan yang teratur setiap tahun. Walaupun satu dekade terakhir, keteraturan ini mulai terganggu dengan sulitnya memprediksi musim hujan dan musim kemarau secara pasti.

Terjadi perubahan musim dan intensitas curah hujan yang tinggi. Sedangkan kemampuan tanah untuk melakukan peresapan semakin berkurang. Gejala seperti ini bukan hanya dirasakan di Makassar dan Indonesia saja tetapi seluruh dunia kuatir dan terus mempelajari dan mengumpulkan data tentang perubahan iklim.

Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming), diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, seperti sektor kesehatan, transportasi, ekonomi terutama sektor pertanian.

Perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaan air laut merupakan dampak serius dari perubahan iklim. Malahan berbagai macam penyakit, baik yang memang kronis, maupun akut.

Berbagai virus baru muncul dan mengakibatkan kepanikan bagi manusia, seperti virus Corona saat ini. Untuk sektor pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Di tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi. Sedangkan di tingkat nasional, sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2e.

Walaupun angka ini mengecil jika emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut dimasukkan dalam perhitungan, maka kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%. Walaupun relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan.

Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami puso semakin luas. Peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas. Ini adalah proses otomatis yang diakibatkan oleh alam sendiri, bayangkan apa yang terjadi jika campur tangan manusia ikut dalam proses itu, seperti reklamasi pantai seperti yang dilakukan di kota-kota besar Indonesia, termasuk Makassar dengan dalih pembangunan.

Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Teknologi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan. Teknologi adaptasi yang dapat diterapkan meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air. Tiba saatnya, warga kota sadar akan terjadinya degradasi lingkungan. Air hujan yang sejatinya sebagai berkah, kadang datang sebagai bencana. Pemangku kepentingan (pemerintah, legislatif, LSM dan lainnya) diharapkan tidak melihatnya sebagai kehendak alam, dan akibat lain yang menyertainya (perubahan iklim, hanya dampak turunan dari badai yang memang harus diterima, dan alasan lainnya).

Isu keterlangkaan air dan menuju kekeringan yang dimulai tahun 2019 hendaknya menjadi sosialisasi bersama. Penduduk Sulawesi Selatan sekitar 8 juta orang dengan 1,5 juta orang berada di Kota Makassar membutuhkan air yang sedemikian besar. Jika dirata-ratakan kebutuhan air penduduk Sulawesi Selatan (sekitar 100 liter setiap warga/hari) akan mencapai 800 juta liter per hari. Warga Makassar 150 juta liter perhari.

Bayangkan dalam sebulan, setahun sudah berapa? Saat ini, sekitar 1,9 miliar orang hidup di daerah yang terancam krisis air. Sekitar 1,8 miliar orang mengonsumsi air yang tidak layak minum, karena terkontaminasi polutan. Secara global, 80% air limbah dibuang ke alam tanpa melalui proses pengolahan. Jumlah orang berisiko terdampak banjir akan meningkat dari 1,2 milyar saat ini ke 1,6 milyar pada tahun 2050. Dalam 14 tahun terakhir, hutan di sekitar daerah aliran sungai berkurang sekitar 22%.

Pembangunan berwawasan lingkungan sudah saatnya memperhatikan usaha pemeliharaan sistem alami dan perlu menganalisis dampak pembangunan terhadap iklim. Atmosfer diatas kota besar dan dikawasan industri terasa lebih panas dan lebih kotor oleh gas buangan kendaraan bermotor. Kota Makassar per Oktober 2018 saja mencapai 1.563.608 unit dengan pertumbuhan sejitar 7%.

Dari data ini dapat dihitung berapa besar gas buangan ke atmosfir setiap hari berupa polusi yang pad agilirannya akan menghasilkan kabut abadi di lapisan ionosfir.

Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor kehidupan, disertasi dengan usaha terus menerus untuk meminimalisasi dampaknya. Usaha yang dapat dilakukan, antara lain: (1) menghemat penggunaan listrik, (2) menghemat penggunaan air, (3) melakukan 5R (Rethink, Reduce, Reuce, Recycle, dan Replace), (4) memanfaatkan energi alam semaksimal mungkin, misalnya energy matahari, energy bayu dan terbarukan, (5) menggunakan peralatan ramah lingkungan, (6) melakukan kegiatan penghijauan, dan (7) efektivitas penggunaan kendaraan.

Di samping itu, berpartisipasi dalam komunitas yang memberikan atensi besar terhadap kelestarian lingkungan, seperti Earth Hour 60 minutes untuk mematikan lampu pada Hari Bumi. Sekecil apapun partisipasi kita jika dilakukan secara bersmaa-sama dan terus menerus akan memberikan sumbangsih berarti bagi kelangsungan hidup manusia di planet bumi ini.

Air sebagai anugrah Allah SWT hendaknya dipelihara dan tetap dipertahankan kelestariannya dengan menentukan secara tegas kawasan resapan air. Warga hendaknya dibiasakan untuk berhemat menggunakan air. Seiring dengan peringatan Hari Air Sedunia, penulis mengajak semua pemangku kepentingan untuk kembali merenung dan memikirkan bahwa air adalah berkah dan setiap warga kota mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ‘menikmati’ berkah tersebut.

Berkah ini hendaknya diartikan dalam skala luas, baik dari segi memelihara, melindungi dan mengolah titipan anak cucu kita, sehingga keberadaannya dijadikan sebagai modal awal untuk kesejahteraan bersama. Allahu alam bisshawab. (*)

 

Opini ini bersumber dari tribunnews.com yang ditulis oleh Muhammad Arsyad, Dosen KBK Fisika Bumi UNM Makassar