PERUBAHAN IKLIM JAMAN NOW! Menyelaraskan Pertumbuhan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan
Jakarta, 8 December – Kunci sukses perubahan iklim adalah menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan melalui sinergi antara instansi baik pemerintah maupun institusi masyarakat sipil. Indonesia, sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, harus menjadi garda terdepan mengurangi pemanasan global. Hal ini diharapkan mampu menyelamatkan ekosistem alam dan penduduk Indonesia dari datangnya perubahan iklim.
Konferensi Perubahan Iklim Global yang disebut UNFCCC-COP 23 di Bonn, 6 – 17 November 2017, menekankan bahwa seluruh negara pihak UNFCCC diminta untuk berkomitmen dalam menghadapi isu perubahan iklim. Pertemuan ini juga bertujuan mendorong kemajuan implementasi Paris Agreement yang telah disepakati oleh para pemimpin dunia termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Indonesia mempunyai komitmen menurunkan emisi sampai 26% dari acuan target di tahun 2020 dan tahun 2030 sampai 29%. Itu apabila dilakukan oleh Indonesia sendiri, tapi kalau ada dukungan dari masyarakat internasional, maka target yang 29% itu bisa naik sampai 41%.
Pada Media Gathering ICCTF yang diadakan pada hari Jumat, 08 Desember 2017 yang diadakan ICCTF dengan tema “Menyelaraskan Pertumbuhan Ekonomi Dan Pelestarian Lingkungan” hadir sebagai narasumber Dr. Medrilzam, MPE, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas selaku Sekretaris MWA ICCTF dan Dr. Tonny Wagey, Direktur Eksekutif ICCTF.
Dr. Medrilzam, MPE mengatakan sebagai salah satu bentuk komitmen Pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan perubahan iklim, Kementerian PPN/Bappenas mengembangkan kebijakan Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Kebijakan ini disusun untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui upaya pemerataan pembangunan dan penegetasan kemiskinan, sekaligus menjaga kualitas lingkungan dan ketersedian sumber daya alam.
PPRK ini nantinya akan menjadi hal yang diutamakan ketika kita membuat perencanaan pembangunan jangka menengah yang berikutnya, yaitu di tahun 2020-2024. Sehingga, ke depan saat pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi juga telah memperhatikan bagaimana menjaga kualitas lingkungannya sekaligus mengatasi masalah sosial
Dr. Tonny Wagey mengatakan perlu ada kesadaran dan peran serta seluruh aspek, golongan, masyarakat dan tak lepas juga peran generasi muda untuk mengetahui dampak/efek perubahan iklim. Sikap acuh terhadap perubahan iklim bukan lagi menjadi pilihan untuk menyuarakan keadilan iklim”. ungkap Tony.
Dr. Medrilzam, MPE juga mengatakan harapan ke depannya ICCTF akan dapat terus mengembangkan berbagai program yang dapat menyelaraskan Pertumbuhan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan Indonesia. Dalam peran ICCTF dalam mengembangkan perencanaan pembangunan rendah karbon adalah dengan memobilisasi pendanaan dan mengimplementasikannya dalam bentuk – bentuk program percontohan ICCTF dimana dengan begitu maka manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejahtera, sehat, dan terus bisa produktif.
Dr. Tonny Wagey menambahkan ICCTF terbukti mampu berjalan dengan menggunakan strategi menyelaraskan Pertumbuhan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan dengan mendukung upaya nasional penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) serta upaya adaptasi terhadap perubahan iklim melalui proyek-proyek kerja sama dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (CSO), Universitas dan pihak Swasta.
Berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah dilakukan melalui program ICCTF. Sebagai contoh, ICCTF bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk membantu peningkatan kapasitas adaptasi petani di Kupang NTT dengan meneliti tren perubahan suhu udara serta mengembangkan seperangkat alat monitor lahan (Field Monitoring System/FMS) yang diadopsi dari teknologi telemetri dari Jepang. Sejalan dengan hal itu, dikembangkan pula sebuah metode sebagai salah satu inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat sekaligus mengantisipasi perubahan iklim yang telah diadopsi sejak tahun 2002, yakni metode System of Rice Intensification (SRI).
Dengan menggunakan metode tersebut, hasil panen yang didapatkan oleh petani dapat meningkat hingga 100%. Jika rata-rata metode konvensional menghasilkan 5-6 ton/ha, dengan menggunakan metode SRI maka dapat terjadi penambahan produktivitas padi hingga mencapai 12 ton/ha dalam satu musim tanam. Selain itu, bibit padi pun dapat bertahan meski dengan kandungan air yang lebih sedikit.
Hal ini akan sangat bermanfaat bagi para petani, terutama yang berada di daerah kering dan rentan, dalam menghadapi perubahan iklim. Program-program ICCTF tidak hanya fokus terhadap upaya perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga menekankan pada peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal sehingga mampu adaptif dan tangguh menghadapi perubahan iklim.
ICCTF memiliki tiga fokus area program dalam menangani isu perubahan iklim, yaitu kegiatan mitigasi berbasis lahan, mitigasi berbasis energi serta kegiatan adaptasi dan ketangguhan dengan tujuan untuk memperkuat kapasitas penduduk dan institusi lokal. Sejak tahun 2010 ICCTF telah mendanai 63 program yang tersebar di 86 lokasi di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2015 sampai 2018, ICCTF menerima dukungan pendanaan sebesar hampir 200 miliar rupiah yang berasal dari bantuan pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Denmark, dan dana APBN. ICCTF juga menerima bantuan berupa dukungan teknis dari Pemerintah Jerman dan mitra pembangunan lainnya. Terhitung hingga 2016 lalu, 21 program telah selesai dilaksanakan oleh mitra pelaksana dengan rincian 6 program mitigasi berbasis lahan, 8 program mitigasi berbasis energi serta 7 program adaptasi dan ketangguhan. Sedangkan sampai 2018 nanti, sebanyak 42 program ICCTF masih berjalan, terdiri atas 31 program mitigasi berbasis lahan dan 11 program adaptasi dan ketangguhan. (AFD)